Success isn't something that just happens - success is learned, success is practiced and then it is shared. Give thanks to the LORD. Alhamdulillah.....

Sabtu, 14 Desember 2013

Analisaku tentang krisis pasar keuangan.

Saya ingin membahas tentang krisis ekonomi yang sekarang terjadi.

Kita kembali ke tahun 2008 ketika terjadi krisis ekonomi yang berawal di AS, dikenal sebagai krisis “subprime mortgage.” Ketika krisis itu terjadi. Secara garis besar, di AS (dan ternyata di beberapa negara Eropa juga) terjadi gelembung kredit property yang menyebabkan kredit macet dan tumbangnya beberapa bank investasi papan atas disana. Untuk menyelamatkan pasar keuangan AS maka Federal Bank (FED = BI nya AS) mengeluarkan kebijakan menyuntikan dana dalam jumlah besar ke pasar keuangan.  Banjir likuiditas menyebabkan sebagian uang itu mengalir deras ke pasar keuangan di negara-negara dunia ketiga yang relatif paling sedikit terkena dampak krisis dan perekonomiannya di prediksi masih akan tumbuh. Cina, India dan Indonesia merupakan tujuan investasi paling menarik waktu itu.

Mengapa Indonesia? Kita harus memberi apresiasi pada 2 tokoh penting yang berhasil menyelamatkan Indonesia terhindar dari dampak krisis, yakni Boediono (Gubernur BI) dan Sri Mulyani (Menko Perekonomian/Menteri Keuangan). Tidak perlu kita bahas lagi apa yang dilakukan kedua tokoh itu ketika itu, hanya akan mengundang diskusi yang tak perlu, tapi yang jelas Indonesia berhasil segera keluar dari krisis yang memungkinkan ekonomi nasional tumbuh menjadi salah satu dari 3 besar dunia dalam 5 tahun terakhir setelah krisis.

Investasi yang membanjiri pasar keuangan Indonesia selama 5 tahun terakhir dapat dilihat dari laku kerasnya Surat Hutang Pemerintah/Sertifikat BI dan kenaikan luar biasa (bullish) Bursa Saham kita (Indeks naik 500% dalam 5 tahun dari level 1000 ke 5000). Rupiah menguat di level sekitar 8500 per-USD. Inflasi terjaga, suku bunga turun dan transaksi perdagangan positif (ekspor jauh melebihi impor). Pendapatan perkapita naik tajam, cadangan devisa meningkat 2 kali lipat dan ekonomi tumbuh +5% pertahun (masuk 3 besar dunia).

Tapi kondisi perekonomian dunia bergerak dinamis. Roda perekonomian senantiasa berputar. Setelah beberapa tahun tergerus krisis, perekonomian AS mulai menunjukan tanda-tanda membaik. Beberapa indikator perekonomian disana menunjukkan bahwa krisis sudah mulai berakhir. Mulai terdengar suara bahwa FED kemungkinan akan mulai mengurangi suntikan dana kepasar keuangan. Populer disebut “FED Tappering Off,” mengurangi dana yang beredar. Akibatnya terjadi kegemparan di pasar keuangan dunia. Investor tiba-tiba mulai menarik investasinya di dunia ketiga, terutama hot money, USD pulang kampung. Pasar keuangan setempat mulai meriang, termasuk Indonesia.
Pasar keuangan mempunyai karakter yang spesifik, seperti bola salju, kepanikan mudah menjalar dan membesar. Investor jangka pendek-menengah punya kecenderungan untuk mencari selamat dan karenanya memilih ikut keluar. Wait and see. Saya pun ikutan kelompok ini… hehehe…

Apa yang terjadi dengan Indonesia?. Sejak bulan Juli 2013, Investor asing mulai keluar dari pasar keuangan kita. Dalam 2-3 bulan indeks saham kita tergerus 20% (dari level 5000 ke 4000) dan saat ini masih dalam tekanan jual investor asing. Akibatnya cadangan devisa mulai tergerus, tidak banyak, tapi jelas berkurang. US Dollar yang pulang kampung berkonstribusi menyebabkan nilai tukar Rupiah tergerus terhadap USD. Tapi kecenderungan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di beberapa negara yang tadinya menjadi tujuan investasi, seperti India, dll. Nilai tukar Yuan Cina memang tak berubah terhadap USD karena memang dipatok pada nilai tertentu (fixed rate). Kebijakan pemerintah Cina, masih negara komunis, yang ditantang AS. Beberapa negara yang tadinya bukan tujuan investasi USD juga relatif tak terganggu dengan kecenderungan mudik USD ini. 

Mengapa BI tak melakukan intervensi dan cenderung membiarkan tergerusnya nilai tukar rupiah? Alasannya sederhana. Arus keluar USD terlalu deras. Kalau di intervensi, maka BI akan kepanasan dan menggerus cadangan devisa. Saya kok melihat sisi positifnya. Ketika USD dibawa investor asing masuk ke Indonesia 5 tahun lalu, mereka membeli rupiah di level 9 ribu. Kini ketika keluar mereka harus membeli USD di level 11-12 ribu. Jadi kalau ternyata investasi mereka disini sudah untung banyak, saatnya untuk membayar “pajak reman” …. Hehehe…

Mudiknya USD, disamping kekuatiran investor bahwa FED akan mulai mengurangi peredaran uang di AS (sisi luar negeri), mereka juga mulai kuatir dengan perekonomian Indonesia sendiri yang mulai memperlihatkan indikasi memburuk (sisi dalam negeri). Mengapa? Seperti alasan yang disampaikan sebuah lembaga pemeringkat (Moody) ketika menurunkan peringkat investasi (investment grade) Indonesia 6 bulan lalu, pemerintah Indonesia terlambat memanfaatkan momentum. Pemicunya ketika mulai terjadi defisit neraca perdagangan. Ekspor kita yang biasanya selalu jauh lebih besar dari impor, kini mulai terbalik. Impor mengalahkan ekspor. Penyebab utama adalah semakin besarnya impor BBM. Konsumsi BBM Indonesia sudah DUA KALI lebih besar daripada produksi (dan bertumbuh), Jelas tak mungkin dipenuhi tanpa impor.
Nilai tukar dipengaruhi ekspor yang jeblok dan impor yang berlebihan. Terutama impor minyak. Neraca dagang Indonesia sudah defisit sejak 2012, faktor terbesar: impor minyak. Pertamina keluar uang USD 150 juta TIAP HARI untuk beli minyak jadi. Sehingga tak heran kontribusinya pada melemahnya nilai tukar.

Apa maksud pemerintah terlambat memanfaatkan momentum? Ketika negara ini berada di peringkat layak investasi (investment grade) dan pertumbuhan ekonomi membaik, kita terlena, lalai dan tak berbenah. Pemerintah + DPR terlambat menaikkan harga BBM, sehingga neraca perdagangan menjadi negatif. Kini ketika rupiah kian melemah, BBM harus dibeli dengan harga lebih mahal. Subsidi BBM meningkat. Kita terperangkap pada pilihan buah simalakama. Saya rasa pemerintahan koalisi yang lemah menjadi penyebab utama lemahnya pengambilan keputusan. Apalagi setelah peristiwa bank century, semakin sedikit pejabat tinggi negara yang mau beresiko mengambil keputusan berani dan cepat. Dan sepertinya kejadian sayang sama masih akan terjadi dimasa-masa mendatang, selama sistem belum berubah.

Kali ini saya mencoba melihat apa yang sedang terjadi dari sisi yang berbeda:  "peristiwa politik".

Kita semua mengetahui bahwa tahun depan merupakan tahun politik di Indonesia.  5 tahun sekali partai politik, caleg dan capres/cawapres perlu dana besar untuk mendukung ambisi politik masing-masing dalam peristiwa politik besar ini. Dari mana saja sumber  dana mereka?  Beragam tentu saja, tapi pasar keuangan merupakan salah satu sasaran utama. Di pasar saham berputar  triliunan rupiah setiap hari, cukup menggiurkan bagi mereka yang tengah memerlukan dana cepat.

5 tahun lalu, tahun 2008, ketika perekonomian dunia mengalami krisis, negara kita juga sedang bersiap-siap menghadapi pemilu (2009). Santer terdengar kabar bahwa banyak peserta pemilu yang menggoreng dananya dipasar keuangan, berharap memperoleh tambahan dana yang dibutuhkan. Mereka mencoba mengail di air keruh, memanfaatkan gejolak yang ditimbulkan krisis ekonomi dunia. Perilaku pasar keuangan waktu itu mirip dengan yang terjadi sekarang. Setelah mengalami kenaikan (bullish) cukup lama, ditahun 2008 bursa saham anjlok lumayan besar dan rupiah melemah terhadap USD. Rumornya, mereka menjual portofolio saham yang sudah untung banyak dan membeli USD. Lalu sejak awal 2009, mereka mulai melepas USD diharga tinggi, memperoleh lebih banyak rupiah dan pada saatnya kembali ke pasar saham yang harganya sudah diskon. Rupiah kembali menguat dan harga saham kembali naik. Mereka memiliki kembali portofolio saham yang tadi dilepas, ditambah sejumlah keuntungan untuk digunakan sebagai biaya kampanye. Akankah kejadian yang sama terulang kembali awal tahun depan sampai pemilu usai? Entahlah, hanya masa depan yang akan menjawab. Kita hanya bisa memperkirakan, bisa benar bisa juga salah.

5 tahun yang lalu, ketika harga saham di bursa anjlok mendekati titik terendahnya, saya juga memprediksi hal yang sama. Saya katakan ketika itu bahwa ini mungkin peluang sekali seumur hidup untuk memperoleh keuntungan besar dari pasar saham. Ramalan saya menjadi kenyataan waktu itu. Tapi, tentu saja, tidak ada jaminan bahwa hal yang sama akan terulang kembali. Lalu bagaimana meyikapinya? Disinilah, menurut saya, analisa tehnikal (TA) mengambil peranan. Analisa tehnikal bisa menghadirkan grafik-grafik yang menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi di pasar saham. Dari grafik itu kemudian kita memperkirakan apa yang kemungkinan akan terjadi dalam waktu tak lama lagi dimasa depan. Peminat TA selalu berangggapan bahwa pergerakan harga dimasa lalu bisa memberikan gambaran pergerakan kedepannya. Tapi itu tadi, TA hanya untuk prediksi, bukan bola kristal para peramal. Kita mungkin tak bisa meramalkan dengan tepat kejadian sesungguhnya dimasa depan, tapi kita bisa berupaya mendekatinya.




Semoga bermanfaat, Salam.