Saya ingin membahas tentang krisis ekonomi yang sekarang
terjadi.
Kita kembali ke tahun 2008 ketika terjadi krisis ekonomi
yang berawal di AS, dikenal sebagai krisis “subprime mortgage.” Ketika krisis
itu terjadi. Secara garis besar, di AS (dan ternyata di beberapa negara Eropa
juga) terjadi gelembung kredit property yang menyebabkan kredit macet dan
tumbangnya beberapa bank investasi papan atas disana. Untuk menyelamatkan pasar
keuangan AS maka Federal Bank (FED = BI nya AS) mengeluarkan kebijakan
menyuntikan dana dalam jumlah besar ke pasar keuangan. Banjir likuiditas menyebabkan sebagian uang
itu mengalir deras ke pasar keuangan di negara-negara dunia ketiga yang relatif
paling sedikit terkena dampak krisis dan perekonomiannya di prediksi masih akan
tumbuh. Cina, India dan Indonesia merupakan tujuan investasi paling menarik
waktu itu.
Mengapa Indonesia? Kita harus memberi apresiasi pada 2 tokoh
penting yang berhasil menyelamatkan Indonesia terhindar dari dampak krisis,
yakni Boediono (Gubernur BI) dan Sri Mulyani (Menko Perekonomian/Menteri
Keuangan). Tidak perlu kita bahas lagi apa yang dilakukan kedua tokoh itu
ketika itu, hanya akan mengundang diskusi yang tak perlu, tapi yang jelas
Indonesia berhasil segera keluar dari krisis yang memungkinkan ekonomi nasional
tumbuh menjadi salah satu dari 3 besar dunia dalam 5 tahun terakhir setelah
krisis.
Investasi yang membanjiri pasar keuangan Indonesia selama 5
tahun terakhir dapat dilihat dari laku kerasnya Surat Hutang
Pemerintah/Sertifikat BI dan kenaikan luar biasa (bullish) Bursa Saham kita
(Indeks naik 500% dalam 5 tahun dari level 1000 ke 5000). Rupiah menguat di
level sekitar 8500 per-USD. Inflasi terjaga, suku bunga turun dan transaksi
perdagangan positif (ekspor jauh melebihi impor). Pendapatan perkapita naik
tajam, cadangan devisa meningkat 2 kali lipat dan ekonomi tumbuh +5% pertahun
(masuk 3 besar dunia).
Tapi kondisi perekonomian dunia bergerak dinamis. Roda
perekonomian senantiasa berputar. Setelah beberapa tahun tergerus krisis,
perekonomian AS mulai menunjukan tanda-tanda membaik. Beberapa indikator
perekonomian disana menunjukkan bahwa krisis sudah mulai berakhir. Mulai
terdengar suara bahwa FED kemungkinan akan mulai mengurangi suntikan dana
kepasar keuangan. Populer disebut “FED Tappering Off,” mengurangi dana yang
beredar. Akibatnya terjadi kegemparan di pasar keuangan dunia. Investor
tiba-tiba mulai menarik investasinya di dunia ketiga, terutama hot money, USD
pulang kampung. Pasar keuangan setempat mulai meriang, termasuk Indonesia.
Pasar keuangan mempunyai karakter yang spesifik, seperti
bola salju, kepanikan mudah menjalar dan membesar. Investor jangka
pendek-menengah punya kecenderungan untuk mencari selamat dan karenanya memilih
ikut keluar. Wait and see. Saya pun ikutan kelompok ini… hehehe…
Apa yang terjadi dengan Indonesia?. Sejak bulan Juli 2013,
Investor asing mulai keluar dari pasar keuangan kita. Dalam 2-3 bulan indeks
saham kita tergerus 20% (dari level 5000 ke 4000) dan saat ini masih dalam
tekanan jual investor asing. Akibatnya cadangan devisa mulai tergerus, tidak
banyak, tapi jelas berkurang. US Dollar yang pulang kampung berkonstribusi
menyebabkan nilai tukar Rupiah tergerus terhadap USD. Tapi kecenderungan ini
tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di beberapa negara yang tadinya
menjadi tujuan investasi, seperti India, dll. Nilai tukar Yuan Cina memang tak
berubah terhadap USD karena memang dipatok pada nilai tertentu (fixed rate).
Kebijakan pemerintah Cina, masih negara komunis, yang ditantang AS. Beberapa
negara yang tadinya bukan tujuan investasi USD juga relatif tak terganggu
dengan kecenderungan mudik USD ini.
Mengapa BI tak melakukan intervensi dan cenderung membiarkan
tergerusnya nilai tukar rupiah? Alasannya sederhana. Arus keluar USD terlalu
deras. Kalau di intervensi, maka BI akan kepanasan dan menggerus cadangan
devisa. Saya kok melihat sisi positifnya. Ketika USD dibawa investor asing
masuk ke Indonesia 5 tahun lalu, mereka membeli rupiah di level 9 ribu. Kini
ketika keluar mereka harus membeli USD di level 11-12 ribu. Jadi kalau ternyata
investasi mereka disini sudah untung banyak, saatnya untuk membayar “pajak
reman” …. Hehehe…
Mudiknya USD, disamping kekuatiran investor bahwa FED akan
mulai mengurangi peredaran uang di AS (sisi luar negeri), mereka juga mulai
kuatir dengan perekonomian Indonesia sendiri yang mulai memperlihatkan indikasi
memburuk (sisi dalam negeri). Mengapa? Seperti alasan yang disampaikan sebuah
lembaga pemeringkat (Moody) ketika menurunkan peringkat investasi (investment
grade) Indonesia 6 bulan lalu, pemerintah Indonesia terlambat memanfaatkan
momentum. Pemicunya ketika mulai terjadi defisit neraca perdagangan. Ekspor
kita yang biasanya selalu jauh lebih besar dari impor, kini mulai terbalik.
Impor mengalahkan ekspor. Penyebab utama adalah semakin besarnya impor BBM.
Konsumsi BBM Indonesia sudah DUA KALI lebih besar daripada produksi (dan
bertumbuh), Jelas tak mungkin dipenuhi tanpa impor.
Nilai tukar dipengaruhi ekspor yang jeblok dan impor yang
berlebihan. Terutama impor minyak. Neraca dagang Indonesia sudah defisit sejak
2012, faktor terbesar: impor minyak. Pertamina keluar uang USD 150 juta TIAP
HARI untuk beli minyak jadi. Sehingga tak heran kontribusinya pada melemahnya
nilai tukar.
Apa maksud pemerintah terlambat memanfaatkan momentum? Ketika
negara ini berada di peringkat layak investasi (investment grade) dan
pertumbuhan ekonomi membaik, kita terlena, lalai dan tak berbenah. Pemerintah +
DPR terlambat menaikkan harga BBM, sehingga neraca perdagangan menjadi negatif.
Kini ketika rupiah kian melemah, BBM harus dibeli dengan harga lebih mahal.
Subsidi BBM meningkat. Kita terperangkap pada pilihan buah simalakama. Saya
rasa pemerintahan koalisi yang lemah menjadi penyebab utama lemahnya
pengambilan keputusan. Apalagi setelah peristiwa bank century, semakin sedikit
pejabat tinggi negara yang mau beresiko mengambil keputusan berani dan cepat.
Dan sepertinya kejadian sayang sama masih akan terjadi dimasa-masa mendatang,
selama sistem belum berubah.
Kali ini saya mencoba melihat apa yang sedang terjadi dari
sisi yang berbeda: "peristiwa politik".
Kita semua mengetahui bahwa tahun depan merupakan tahun
politik di Indonesia. 5 tahun sekali
partai politik, caleg dan capres/cawapres perlu dana besar untuk mendukung
ambisi politik masing-masing dalam peristiwa politik besar ini. Dari mana saja
sumber dana mereka? Beragam tentu saja, tapi pasar keuangan
merupakan salah satu sasaran utama. Di pasar saham berputar triliunan rupiah setiap hari, cukup
menggiurkan bagi mereka yang tengah memerlukan dana cepat.
5 tahun lalu, tahun 2008, ketika perekonomian dunia
mengalami krisis, negara kita juga sedang bersiap-siap menghadapi pemilu
(2009). Santer terdengar kabar bahwa banyak peserta pemilu yang menggoreng
dananya dipasar keuangan, berharap memperoleh tambahan dana yang dibutuhkan.
Mereka mencoba mengail di air keruh, memanfaatkan gejolak yang ditimbulkan
krisis ekonomi dunia. Perilaku pasar keuangan waktu itu mirip dengan yang
terjadi sekarang. Setelah mengalami kenaikan (bullish) cukup lama, ditahun 2008
bursa saham anjlok lumayan besar dan rupiah melemah terhadap USD. Rumornya,
mereka menjual portofolio saham yang sudah untung banyak dan membeli USD. Lalu
sejak awal 2009, mereka mulai melepas USD diharga tinggi, memperoleh lebih
banyak rupiah dan pada saatnya kembali ke pasar saham yang harganya sudah
diskon. Rupiah kembali menguat dan harga saham kembali naik. Mereka memiliki
kembali portofolio saham yang tadi dilepas, ditambah sejumlah keuntungan untuk
digunakan sebagai biaya kampanye. Akankah kejadian yang sama terulang kembali
awal tahun depan sampai pemilu usai? Entahlah, hanya masa depan yang akan
menjawab. Kita hanya bisa memperkirakan, bisa benar bisa juga salah.
5 tahun yang lalu, ketika harga saham di bursa anjlok
mendekati titik terendahnya, saya juga memprediksi hal yang sama. Saya katakan
ketika itu bahwa ini mungkin peluang sekali seumur hidup untuk memperoleh
keuntungan besar dari pasar saham. Ramalan saya menjadi kenyataan waktu itu. Tapi,
tentu saja, tidak ada jaminan bahwa hal yang sama akan terulang kembali. Lalu
bagaimana meyikapinya? Disinilah, menurut saya, analisa tehnikal (TA) mengambil
peranan. Analisa tehnikal bisa menghadirkan grafik-grafik yang menggambarkan
apa yang sesungguhnya terjadi di pasar saham. Dari grafik itu kemudian kita
memperkirakan apa yang kemungkinan akan terjadi dalam waktu tak lama lagi
dimasa depan. Peminat TA selalu berangggapan bahwa pergerakan harga dimasa lalu
bisa memberikan gambaran pergerakan kedepannya. Tapi itu tadi, TA hanya untuk
prediksi, bukan bola kristal para peramal. Kita mungkin tak bisa meramalkan
dengan tepat kejadian sesungguhnya dimasa depan, tapi kita bisa berupaya
mendekatinya.
Semoga bermanfaat, Salam.