Di
pasar modal, setiap pemegang saham adalah pemilik, walau cuma 1 lembar saham.
Mereka berhak beroleh laba, dan berhak untuk didengar. Karena berstatus
pemilik, maka pemegang saham juga ikut ambil risiko. Perusahaan bisa untung dan
bisa rugi. Semua pemilik ikut menanggung. Besaran untung atau rugi yang
dinikmati/ditanggung akan tergantung pada sebanyak apa jumlah saham yang dimiliki.
Tentu ini cukup adil. Ingin untung besar? Ya silakan tambah jumlah saham yang
dimiliki. Ingin mengurangi risiko kerugian? Ya silakan kurangi jumlah
pemilikan.
Karena
persepsi tiap orang (pemegang saham) berbeda-beda (ingin untung vs takut rugi),
maka mereka saling bertukar di sebuah pasar. Pasar itulah yang dikenal sebagai
Bursa Saham, tempat orang membeli/menjual perusahaan (dalam bentuk
lembaran-lembaran saham). Di Bursa Saham tersebutlah perusahaan publik
(perusahaan yang sudah terbuka untuk dimiliki masyarakat) sahamnya
di-perdagangkan tiap waktu.
Bila
sebuah perusahaan penjualan dan labanya bertumbuh, akan banyak orang yang ingin
memiliki sahamnya. Maka harga sahamnya akan naik. Sebaliknya, bila sebuah
perusahaan penjualan dan labanya jelek, maka risiko dianggap meningkat.
Sahamnya akan dilepas di harga lebih rendah.
Sebagai
milik publik, maka perusahaan publik wajib mengumumkan laporan keuangan mereka.
Pemilik berhak tahu bagaimana perusahaan dikelola. Dari laporan keuangan ini
pula, dapat dibandingkan mana perusahaan publik yang kinerjanya membaik atau
memburuk. Memaksa mereka bersaing. Seluruh
laporan keuangan perusahaan publik bisa dilihat di website BEI. Juga dimuat di
koran-koran. Nggak ada yang ditutupi. Memang tidak tertutup kemungkinan ada
yang menyajikan laporan keuangan secara tidak benar. Bila ketahuan akan dihukum
oleh pasar.
Di
Indonesia, kebanyakan perusahaan besar sudah jadi perusahaan publik. Anda bisa
jadi pemilik Bank BRI, Bank Mandiri, Telkom, Astra, dll. Ada hampir 500
perusahaan publik di Indonesia. Ada yang bagus, ada yang jelek, ada yang
membaik ada yang memburuk. Tinggal pilih.
Keuntungan
pemegang saham biasanya atas dua hal: dividen dan capital gain (selisih harga
jual vs. harga beli). Keduanya bentuk tunai. Ada juga sih dividen berbentuk
saham. Bisa untuk menambah kepemilikan, bisa juga untuk dijual ke orang lain. Terserah
pemilik. Sementara emiten tidak hanya
menikmati saat IPO (penjualan saham perdana) saja, mereka juga bisa terbitkan
saham baru, atau berbagai inovasi keuangan lain.
Perusahaan-perusahaan
publik besar di Indonesia termasuk yang memiliki pertumbuhan laba terbesar di
Asia Pasifik. Sayangnya banyak yang nggak tau. Kapitalisasi (nilai pasar) saham
Indonesia selama 10 tahun terakhir bertumbuh secara compounded sekitar 25% per
tahun. Hebat kan? Anehnya, kebanyakan orang Indonesia malah nggak menikmati. Ibarat
ayam mati di lumbung padi. Kemungkinan besar karena nggak ngerti. Susah
dimengerti, jumlah investor retail Indonesia cuma 400 ribuan. Investor tidak
langsung paling top 4-5 juta orang. Penduduk? 250 juta. Investor tidak langsung yang saya maksud adalah yang
berinvestasi lewat reksadana, produk asuransi, lewat dana pensiun dll.
Karena
milik publik pula maka sebuah perusahaan bisa menjadi besar dan bertumbuh
cepat. Kebutuhan modalnya dibiayai oleh banyak orang. Prinsip dasar di pasar
modal: yang dipercaya akan semakin dipercaya. Yang tidak dipercaya akan semakin
ditinggalkan. Adil kan? Akibatnya perusahaan yang sangat dipercaya, seperti
Microsoft, bisa ngutang dengan bunga sangat rendah. Lebih rendah dari pada bunga pemerintah.
Itu
alasan dasar mengapa pasar modal menciptakan perusahaan-perusahaan yang
bertumbuh dan kompetitif. Bersaing rebutan modal. Dengan modal lebih berlimpah
dan biaya bunga yang rendah, maka perusahaan bisa mengembangkan produk baru,
masuk ke pasar baru, dll. Pasar modal bisa dipandang sebagai Demokratisasi
Modal. Berbeda dengan pemilu yang sekian tahun sekali, proses di pasar
berlangsung tiap hari.
Perusahaan
publik secara umum dipandang memiliki risiko lebih kecil oleh bank, karena
lebih transparan. Lebih diprioritaskan dapat kredit. Dengan status sebagai
perusahaan publik, sebuah perusahaan dapat mengakuisisi perusahaan lain tanpa
harus keluar duit. Dibayar pakai saham. Itu yang dilakukan perusahaan besar
seperti Microsoft, Google, Apple, Oracle, dll, membeli perusahaan lain tanpa
harus keluar duit tunai. Tapi tentu saja tidak bisa begitu saja terjadi.
Kepercayaan investor harus dibeli dan dijaga terus menerus. Bila ngawur,
kepercayaan hilang.
Bukankah
manajemen perusahaan harus tunduk pada pemegang saham terbesar? Ya memang betul
begitu, karena mereka punya risiko terbesar. Tapi pada perusahaan publik yang
telah lama dan sangat dipercaya, pemilikan sahamnya bisa sangat tersebar luas
meliputi ribuan investor. Pada perusahaan seperti IBM misalnya, pemegang saham
terbesarnya hanya menguasai 6% jumlah saham. Pada Apple, hanya 5% saham. Itu
terbesar. Pada pemilikan sedemikian tersebar, manajemen perusahaan bisa
bersikap independen. Tidak didominasi kepentingan pemegang saham terbesar.
Coba
kita lihat di sekitar kita, banyak sekali produk dari perusahaan publik.
Contoh: Apple, Samsung, Blackberry, HP, Dell, LG, dll. Lihat di luar jendela,
ada mobil buatan Astra, Ada Bank BCA, Mandiri, BRI, dll. Ada Indomie buatan
Indofood. Semua perusahaan publik.
Investor
terbesar di dunia adalah Dana Pensiun, lalu Reksadana, dan diikuti Dana
Asuransi. Semuanya memperoleh dana dari masyarakat luas. Jadi Demokratisasi
Modal sebenarnya bersifat sangat luas, mencakup kemaslahatan masyarakat yang
juga sangat-sangat luas.
Anda
peserta skema Jamsostek? Tahukah anda bahwa dana yang anda setorkan via
Jamsostek itu diinvestasikan di pasar modal Indonesia? Anda ikut skema dana
pensiun? Dana yang terkumpul dari dana pensiun jutaan orang - mengalirnya ke
pasar modal. Agar bisa bertumbuh. Andai dana pensiun tersebut cuma disimpan di
bank, maka mustahil akan cukup untuk memenuhi kebutuhan aktuaria peserta dana
pensiun.
Mobil
atau rumah anda diasuransikan? Punya asuransi jiwa? Nah, premi yang anda
bayarkan itu sebagian mengalir ke pasar modal agar bertumbuh. Perusahaan
publik, pasar modal, dana pensiun, asuransi, dan reksa dana -- semua saling
sinergi. Saling membutuhkan untuk bisa bertumbuh. Perusahaan butuh modal.
Investor butuh pertumbuhan hasil untuk memenuhi kebutuhan masa depan. Semua
pihak itu bertemu di pasar modal.
Mungkinkah
perusahaan publik memalsukan laporan keuangan mereka? Bisa saja. Tapi laporan
keuangannya dibaca ribuan pasang mata. Perusahaan Enron, pertama kali diketahui
memanipulasi laporan keuangannya lewat ketelitian para investor. Laporan
keuangannya dibongkar.
Para
investor ini heran: mengapa perusahaan energi lain cuma bisa tumbuh 1 digit,
tetapi Enron bisa tumbuh double digit. Apa rahasianya? Dari analisa atas
laporan keuangan Enron, terasa banyak hal yang nggak nyambung. Hal ini meluas
diketahui publik. Manajemen diperiksa. Karena tak bisa menjelaskan, maka Enron
dihukum oleh pasar. Harga sahamnya jeblok tajam dalam hitungan hari. Sampai
akhirnya bangkrut.
Arthur
Andersen, auditor keuangan Enron pun diteliti oleh publik. Diduga terlibat
manipulasi. Ikut dihukum pula oleh publik. Arthur Andersen yang saat itu di
posisi auditor keuangan terbesar dunia, langsung dikucilkan. Dalam waktu
singkat auditor itu kolaps.
Pasar
modal memang berlangsung berlandas kepercayaan. Bila gagal menjaga kepercayaan
- akan dihukum dengan sangat kejam. Perusahaan sebesar apa pun mustahil luput.
Saat British Petrolium dianggap lalai menjaga anjungan minyak mereka hingga terbakar, harga
sahamnya jeblok.
Kejamnya
investor pasar modal adalah: Bila perusahaan X dianggap tak becus, mereka akan
menanamkan uang pada semua kompetitor perusahaan X. Jadi, jangan heran bila
saat British Petrolium kena kasus, harga saham Shell, ExxonMobil, dll justru memperoleh
sentimen positif. Harganya naik.
Dan
sama dengan itu, saat Exxon Mobil kapal tankernya karam karena dianggap ceroboh
-- perusahaan minyak lawannya naik pamor di mata investor. Mengerikan juga
ternyata. Apa ada perang saham antar perusahaan juga? Selalu begitu terus
menerus. Yang selalu jadi contoh klasik: Pepsi vs Coca Cola. Bukan hanya di
pasar, tetapi di laporan keuangan juga termasuk.
Dari
hal itu, saya jadi lebih percaya bahwa kultur/budaya anggota sebuah kelompok
bisnis entah koperasi atau korporasi - lebih berperan.
Salam,
Vivie.